Kamis, 10 Oktober 2013

WISHNU: MENGENANG KUNJUNGAN KE PENGUNGSI LETUSAN SINABUNG

Gunung Sinabung yang berada di Dataran Tinggi Karo, Sumatra Utara, meletus pada bulan September-Oktober 2013 ini dan ini mengingatkan saya kepada peristiwa 3 tahun lalu saat Sinabung mengejutkan penduduk sekitarnya yang selama ini tidak pernah mengalami bencana ini. 

Saya yakin apa yang terjadi saat ini tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada tahun 2010. Sayangnya saya tidak mempunyai kesempatan untuk mengunjungi Karo karena saya sekarang tidak lagi berada di kota Medan.

Sekedar berkisah tentang apa yang kami lakukan saat kami berada di Medan, ini adalah cuplikan tulisan saya saat kami mengunjungi pengungsi letusan Sinabung di kota Kabanjahe, Karo untuk mengirim sumbangan "Multazam Peduli Sinabung" pada saat saya masih aktif mengurus Multazam Tours & Travel Medan.

Senin, 13 September 2010
(oleh: Wishnu Al Bataafi)
Pkl. 10.00 kami bersiap-siap untuk berangkat dari Medan menuju Brastagi dan Kabanjahe, Kab. Karo, Sumut. Dengan berdasarkan informasi terakhir tentang aktivitas Gunung Sinabung yang berangsur-angsur tenang, maka kami memutuskan untuk mengunjungi pengungsi yang ada di Brastagi dan Kabanjahe sekaligus menyerahkan sumbangan yang berasal dari umat Multazam yang dihimpun di “Multazam Peduli Sinabung”. Alhamdulillah, cukup banyak umat yang peduli sehingga kami siap membawa sumbangan berupa beras, minuman mineral, pakaian anak-anak dan sebagainya untuk para saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
Seperti diketahui, Gunung Sinabung meletus 29 Agustus 2010 setelah tertidur lelap selama 410 tahun (terakhir meletus tahun 1600). Penduduk desa sekitar gunung yang beradius 6 km harus mengungsi. Hingga kini mereka telah mengungsi selama 2 minggu dan melewati masa lebaran di tempat pengungsian.
Udara hari itu sangat panas dan matahari bersinar terik. Jalanan menuju Brastagi rupanya cukup ramai dipadati kendaraan, termasuk di daerah Pancur Batu yang harus dialihkan ke jalan alternative memutar pasar karena padatnya lalu lintas depan pasar. Aku sendiri yang mengemudikan kendaraan karena supir kami sedang sakit.
Kami melewati jalanan yang berkelok-kelok dan kondisi yang kurang nyaman akibat banyaknya aspal jalan yang rusak, berlubang, ditambah dengan aksi supir-supir bus antar kota dan pengendara motor yang seenaknya memotong jalan dan menyusul dengan gaya yang ugal-ugalan. Mengingatkan aku pada Metro Mini atau Kopaja di Jakarta.
Di Hill Park, Sibolangit, semacam ”dufan”-nya Sumut, sekitar 35 km dari Medan, lumayan ramai dikunjungi, mobil yang diparkir juga cukup padat. Komedi putar raksasanya pun berputar dengan gagah.
Sekitar pkl.12.30 kami tiba di Brastagi, melewati beberapa tempat pengungsian. Jemuran memenuhi pelataran halaman depan atau sampingnya. Kami sempatkan mampir di salah satu jambur (tempat pertemuan) yang dijadikan tempat pengungsian. Di dalamnya tampak sumpek dan penuh dengan mereka yang tidur dengan selimut yang hampir seragam, sementara anak-anak bermain berkelompok dengan riang. Sementara para suami atau lelaki tampak sedikit ada di tempat pengungsian karena pada siang hari mereka kembali ke desanya masing-masing untuk sekedar menengok rumahnya yang ditinggalkan, sawah atau ladangnya dan juga ternaknya. Sore hari mereka baru kembali ke pengungsian.
Sebelum ke Kabanjahe, kami membelok ke kanan menuju arah Kecamatan Simpang Empat, desa yang hanya berjarak 5 km dari Gunung Sinabung.
Di siang yang terik itu, Gunung Sinabung nampak sombong berdiri sendiri, seluruh badannya terlihat jelas dari kaki hingga puncaknya seolah-olah siap untuk menginjak desa dan masyarakat desa yang berada tepat di ujung ”jempol kakinya”. Di salah satu sisi badan gunung, tampak ”luka lebar” menganga dengan asap kecil keluar dari sana. Warna hijau kekuningan tampak jelas terlihat, menandakan itu adalah batu-batu belerang yang terbawa lahar panas. Asap yang keluar dari kawahnya tampak sedikit sekali terlihat, sehingga tidak menunjukkan bahwa Sinabung sebenarnya sedang ”murka”.
Sepanjang jalan menuju Kecamatan Simpang Empat tampak sangat sepi, tidak ada penduduk yang biasanya berjalan di pinggir jalan, tidak ada petani yang sedang menyiangi tanaman di ladang, rumah-rumah tidak berpenghuni, aspal jalanan desa yang sangat buruk itu memutih bekas tersiram abu vulkanik Sinabung. Sesekali saja kami berpapasan dengan penduduk yang bergegas mengendarai motornya ke arah Brastagi. Benar-benar menjadi kota mati.
Kami sempat turun ke ladang, bau belerang tercium cukup keras tertiup angin dari arah puncak gunung.
Kami melihat tanaman terong yang sebenarnya sudah masuk masa panen, memutih ditutupi abu vulkanik.
Begitupun dengan buah tomat, wortel, durian, dan lain-lain. Daun-daun dan buahnya menjadi rusak. Panenpun gagal.
Saat kami berada di ladang, kami bertemu dengan penduduk yang datang ke ladang itu juga. Dia rupanya pemilik ladang itu. Maka kami berbincang-bincang seputar kejadian Sinabung.
Lelaki itu keturunan Jawa yang kini sudah diterima sebagai marga Sitepu. Dia jelaskan saat kejadian pertama kali Sinabung meletus (29 Agustus), tidak ada yang mengira sama sekali Sinabung akan meletus. Tapi ketika terdengar dentuman keras, penduduk memastikan gunung itu telah meletus. Asap disertai batu yang memerah panas terlontar dari puncaknya. Lahar panas memerah juga membakar lereng gunung. Begitu mengerikannya sehingga penduduk segera mengungsi ke Brastagi dan Kabanjahe malam itu juga. Apalagi esoknya saat siang hari mereka yang masih ada di sana melihat 3 titik di lereng gunung tepat di belakang halaman rumah mereka mengeluarkan asap dan bau belerang yang sangat keras disertai getaran-getaran yang menakutkan, sehingga tidak ada pilihan lain mereka harus meninggalkan rumahnya. Hingga kini hanya segelintir saja yang berani pulang ke rumah.








Walaupun siang tampak tenang, asap pun sedikit mengepul, namun memasuki sore hari pkl. 17.00, gunung setinggi 2461 meter ini seperti bangun tidur dan mengeluarkan energinya lewat asap tebal dan menutupi seluruh tubuhnya. Debu dan bau belerang pun semakin banyak dan tajam sehingga berbahaya bagi penapasan. Seperti Sitepu inilah, semuanya memiliki kekuatiran yang tinggi setiap hari. Maka itulah mereka harus segera kembali ke pengungsian sebelum pkl. 17.00.
Sore hari, pkl. 16.00 kami tiba di Kabanjahe. Tampak kehidupan berlangsung normal di kota ini, dan juga di Brastagi, namun berbeda bila melihat posko pengungsian. Kami langsung menuju salah satu pengungsian yang berada di Mesjid Besar Kabanjahe. Kondisi pengungsi disini tampak lebih baik dibanding tempat-tempat lain. Ruangan memang tidak besar, namun jumlah pengungsi tidak membludak, sehingga masih banyak ruang untuk bergerak.

Kami bertemu dengan panitia posko dan menyampaikan niat kami mewakili umat Multazam yang telah peduli menyumbangkan rejekinya untuk para pengungsi Sinabung.
Panitia begitu ramah menyambut kami dan menerima dengan penuh syukur sumbangan berupa 300 kg beras, 40 dus aqua, 10 galon aqua dan 10 dus pakaian anak-anak.
Kamipun berkesempatan menjumpai pengungsi dan berbincang-bincang. Tanpa terasa bicarapun tersekat, mataku membasah dan air mata menetes haru. Haru karena melihat mereka, saudara-saudara kita, harus tidur di tempat yang jauh dari rumahnya, haru karena anak-anak tidak bisa bersekolah, haru karena sahabat pembaca facebook al bataafi dan sahabat pembaca blog multazamtours dan multazamtravel begitu spontan memberikan sumbangan, haru karena sumbangan tersebut dapat kami serahkan dan diterima dengan suka cita, haru karena anak-anak gembira berebut pakaian yang kami berikan. Untunglah rekan kami yang membawa kamera luput mengabadikan air mataku yang meleleh tanpa kusadari.
Pkl. 17.30 selesai sudah kunjungan kami dan misi kami menyerahkan amanat umat dan sahabat multazam. Kami mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT karena diberikan waktu yang baik untuk menyerahkan sumbangan tersebut. Ucapan terima kasih kami yang tidak terhingga kepada seluruh umat dan sahabat Multazam, yang menyumbangkan dananya, yang mengirimkan doanya dan yang bersimpati atas musibah ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan pahala dan rejeki yang berlipat kepada Anda semua atas segala kebaikan hatinya. Dan walaupun jumlahnya tidak seberapa, namun mudah-mudahan tetap berguna, bermanfaat untuk mereka di pengungsian. Dan mereka, saudara-saudara kita yang tertimpa musibah Sinabung ini, semoga mereka selalu diberikan ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi cobaan ini. Amiiin Ya Rabbal Alamiinn….
Pkl. 20.15 kami tiba kembali di Medan dengan selamat. Badan terasa pegal, paha pun pegal, tumitpun demikian, pegal karena senantiasa main rem, gas, kopling, akibat lalu lintas yang padat dan macet. Tapi lega dan puas, tugas sudah selesai. Tugas berikutnya menanti lagi esok…. sampai rumah, langsung tertidur lelap. (wishnuab/14sep)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar