Rabu, 23 Oktober 2013

SITUS GUNUNG PADANG DIDUGA DIBANGUN 4 KEBUDAYAAN BERBEDA

Situs ini bukan hanya benar-benar menyimpan bangunan, tapi juga menyimpan banyak peninggalan arkeologis dari empat peradaban yang berbeda.

gunung padang,arkeologi,megalitik,megalitikum,budaya,katastropik purba,pusat arkeologi nasional,lembaga ilmu pengetahuan indonesTerdapat lima teras yang disusun di atas bukit bebatuan kekar kolom. Sumber batuan punden berundak Gunung Padang berasal dari situs itu sendiri. Penelitian Lutfi Yondri menunjukkan bahwa terdapat sepuluh pola susunan batu di situs tersebut (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Riset arkeologis di situs Gunung Padang memunculkan dugaan bahwa situs tersebut dibangun oleh empat kebudayaan yang berbeda.

Arkeolog Universitas Indonesia yang tergabung dalam Tim Riset Mandiri Gunung Padang, Ali Akbar, mengungkapkan hal tersebut berdasarkan hasil penggalian ditambah analisis geologi terbaru hingga Juli 2013.

Diduga sebelumnya, Gunung Padang bukan sekadar gunung, melainkan juga menyimpan jejak peradaban berupa bangunan megah di dalamnya.

Berdasarkan hasil riset terbaru, Ali mengatakan bahwa Gunung Padang bukan hanya benar-benar menyimpan bangunan, melainkan juga menyimpan banyak peninggalan arkeologis dari empat peradaban yang berbeda.

Ada empat lapisan budaya yang terdapat di Gunung Padang. Masing-masing lapisan budaya terdiri atas batuan yang dipisahkan oleh lapisan tanah.

Lapisan budaya pertama terdapat hingga kedalaman 2 meter. Penelitian arkeologi dan penanggalan karbon yang didasarkan pada batuan di lapisan itu menguak bahwa lapisan budaya tersebut menunjukkan masa 500 Sebelum Masehi (SM).

"Lapisan budaya kedua umurnya lebih tua, bisa sampai 5.900 SM," ungkap Ali.

Sementara adanya lapisan budaya ketiga dan keempat diungkap berdasarkan analisis tomografi, analisis yang didasarkan pada perbedaan cepat rambat suara ketika melalui medium yang berbeda.

Berdasarkan analisis tomografi, dikatakan ada ruangan bagian bangunan yang lebih tua, diperkirakan mencapai umur 10.000 tahun.

Danny Hilman Natawidjaja, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan bahwa hal tersebut bisa diketahui dari adanya zona dengan kecepatan suara rendah, merujuk pada adanya ruang kosong yang tak terisi batuan.

Ali mengatakan, "Situs Gunung Padang adalah situs yang dibangun, ditinggalkan, lalu didatangi lagi dan dibangun lagi."

Bangunan pertama adalah yang tertua, 10.000 tahun lalu. Bangunan digunakan untuk menyembah kekuatan alam. Menurut Ali, karena adanya bencana gempa Bumi, masyarakat saat itu kemudian meninggalkan.

"Tapi karena daerah sekitar situs Gunung Padang ini baik, maka masyarakat lalu kembali lagi," kata Ali.

Saat kembali, warga lalu membuat bangunan baru di atas bangunan lama. Bangunan lama terlebih dahulu dilapisi dengan tanah. Lapisan tanah itulah yang lewat penelitian dijumpai berada di antara lapisan batuan.

Menurut Ali, lapisan itu jelas merupakan tanah yang sengaja dikumpulkan untuk fondasi bangunan baru.

Penggunaan tanah untuk lapisan bangunan lazim. "Prambanan dan Borobudur juga dilapisi tanah. Di Prambanan, lapisan tanahnya bisa 12 meter. Kalau di Borobudur 8 meter," ungkap Ali.

Dengan demikian, bila dibayangkan, situs Gunung Padang secara vertikal adalah selang-seling antara batuan dan tanah.

Pada kedalaman 2 meter, antara lapisan budaya pertama dan kedua terdapat tanah. Kemudian lapisan tanah juga ada pada kedalaman 5 meter, memisahkan lapisan budaya dua dan tiga. Terakhir, lapisan tanah terdapat antara lapisan budaya tiga dan empat.

Berkomentar terhadap interpretasi Ali, Siswanto, peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta, mengatakan bahwa tidak sembarang lapisan batuan bisa dikatakan sebagai lapisan budaya.

"Kalau mau dikatakan lapisan budaya, ya harus ada sentuhan manusianya," kata Siswanto. Jejak budaya bisa berupa potongan batuan yang jelas berbeda antara potongan alam dan potongan manusia. Potongan alam, misalnya, memiliki bekas pukulan karena alat tertentu.

Sementara geolog dari ESDM, Awang Harun Satyana, mengungkapkan bahwa interpretasi hasil tomografi perlu dimantapkan lagi.

Ia mengatakan, adanya zona dengan kecepatan suara lambat tidak selalu menunjukkan adanya ruang buatan manusia di dalam tanah. Keberadaan ruang dimungkinkan, tetapi bisa jadi berupa gua yang memang bentukan alam.

Awang juga mengkritisi metode penanggalan karbon. Ia mengungkapkan, sampel harus akurat sehingga analisis akurat. Dalam geologi, tak jarang peneliti mengambil sampel yang kurang tepat berupa kayu pohon purba. Dengan demikian, tak mengherankan bila umurnya sangat tua.

(Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar