Prabu Lingga Buana (oleh: Udayapu) |
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Namun menurut sejarawan Universitas Negeri Surabaya Aminudin Kasdi, mitos larangan tersebut bukan karena tragedi perang bubat. Larangan menikah yang berkembang di tengah masyarakat itu lebih karena faktor lain.
"Kalau saya melihat itu lebih karena faktor sosiologis dan kultural yang berbeda," ujar Aminudin.
Menurutnya, feodalisasi di kerajaan Sunda atau Pajajaran tidak sekuat di Majapahit atau kerajaan di Jawa Tengah dan Jatim lainnya. Sehingga apa yang dilakukan oleh raja di Sunda imbas belum tentu kepada masyarakat.
"Kalau saya lihat, rakyat sunda itu cenderung terbuka seperti warga Eropa. Mereka spontanitas saja. Jadi soal adanya larangan nikah itu bukan perang bubat sebabnya tetapi lebih pada kultur dan sosiologis warga saja," imbuhnya.
(Hery H. Winarno 24042015-Merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar