Senin, 11 November 2013

DATA SEJARAH TENTANG MASA KEHANCURAN KESULTANAN BANTEN

Tragedi Berkepanjangan: Data Sejarah Tentang Masa Kehancuran Kesultanan Banten

Drs. H.A. Mudjahid Chudari, MBA.
Peta Banten tahun 1724

AWAL MASA KESURAMAN KESULTANAN BANTEN
Dengan ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf, dan Pangeran Purbaya serta pengikut-pengikut setianya, membawa Banten ke ambang pintu penjajahan kompeni. Peperangan sudah mulai berkurang, tapi rakyat di sana-sini masih mengadakan perlawanan walau pun semuanya tidaklah begitu berarti. Sementara itu, dengan restu kompeni Belanda pula Sultan Haji dikukuhkan menjadi Sultan Banten dengan beberapa persyaratan. Tapi dengan demikian, kedaulatan kerajaan Banten telah runtuh. Apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684, yang isinya sebagai berikut:
1)    Perjanjian 10 Juli 1659 tetap masih berlaku dengan utuh kecuali beberapa hal yang diubah dalam perjanjian ini. Di samping itu untuk kedamaian antara Banten dan kompeni Belanda, maka Banten dilarang memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada musuh-musuh kompeni. Demikian juga Banten tidak boleh turut campur dalam politik di Cirebon.
2)    Penduduk Banten tidak boleh datang ke Batavia, demikian juga sebaliknya, kecuali ada keperluan khusus dengan mendapat surat izin dari yang berwenang. Apabila memasuki daerah-daerah tersebut tanpa surat izin, maka orang itu dianggap sebagai musuh dan boleh ditangkap atau dibunuh.
3)    Sungai Untung Jawa (Cisadane) dan garis sambungnya ke selatan dan utara sampai laut Kidul, menjadi batas daerah Banten dan kompeni.
4)    Apabila ada kapal milik kompeni atau milik Banten atau warganya terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan Sumatra, maka haruslah mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barang- barangnya.
5)    Untuk kerugian-kerugian perang dan perampokan oleh penduduk Banten atas kompeni, maka Sultan harus menggantikan kerugian sejumlah 12.000 ringgit kepada kompeni.
6)    Tentara ataupun penduduk sipil atau siapa saja yang berani melanggar hukum yang telah disepakati ini akan ditangkap dan diserahkan kepada kompeni.
7)    Sultan Banten harus melepas tuntutannya atas Cirebon dan harus menganggap sebagai negara sahabat yang bersekutu di bawah lindungan kompeni.
8)    Sesuai dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal 4 yang menyatakan bahwa kompeni tidak memberikan sewa tanah atau rumah yang digunakan untuk loji, maka menyimpang dari hal itu kompeni akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
9)    Sultan berkewajiban untuk waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan, perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain. Kerena hal itu bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10)  Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta seluruh keturunannya haruslah menerima seluruh pasal perjanjian ini, dimaklumi serta dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan, demikian pula dari pihak kompeni.
Perjanjian ini ditandatangani di Keraton Surosowan dan dibuat dalam bahasa Belanda, Jawa dan Melayu yang sama maksud dan isinya. Penandatangan dari pihak kompeni adalah Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Sedangkan dari pihak Banten ditandatangani oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita, 1967:54).
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, lenyaplah kejayaan dan kemajuan Banten, ditelan monopoli dan penjajahan kompeni Belanda. Bahkan akibat perjanjian ini pulalah akhirnya Kesultanan Banten menjadi hancur dan lenyap.
Bertumpuk-tumpuklah penderitaan rakyat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng, pajak yang tinggi -- karena Sultan harus membayar biaya perang -- tapi juga karena monopoli perdagangan kompeni. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk dengan harga yang sangat rendah. Raja seolah-olah hanya sebagai pegawai kompeni dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis dan Denmark, karena dianggap banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir dari Banten dan mereka pindah ke Bangkahulu (Chijs, 1881:59).
Dengan demikian maka tidaklah mengherankan apabila pada waktu itu terjadi banyak kerusuhan dan pemberontakan yang ditimbulkan oleh rakyat. Perampokan-perampokan dan pembunuhan-pembunuhan sering dialami pedagang-pedagang dan patroli kompeni di luar atau pun di dalam kota. Bahkan pernah terjadi pembakaran yang menghabiskan bangunan-bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal-kapal kompeni yang dibajak oleh "bajak negara" yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang (Michrob, 1981:39). Kemungkinan dalam operasinya banyak dibantu oleh pelaut-pelaut asal Sumatra yang dipimpin oleh Ibn Iskandar (Soeroto, 1965:212).
Untuk memperkuat pertahanan dan kuasanya atas Banten, maka kompeni Belanda membuat sebuah benteng di pantai utara dekat pasar Karangantu. Benteng ini diberi nama Spelwijk -- sebagai peringatan kepada Speelman -- pada tahun 1682, dan kemudian disempurnakan lagi pada tahun 1685 (Chijs, 1881:25). Akibat perang saudara yang berkepanjangan itu, banyak bangunan di dalam kota yang rusak berat, seperti istana dan benteng Surosowan. Untuk memperbaiki semuanya itu, Sultan meminta kepada Hendrik Laurenszoon van Steenwijk Cardeel, seorang arsitek bangsa Belanda yang dikatakan sudah beragama Islam -- yang juga membangun benteng Spelwijk (Chijs, 1881:36). Diratakannya dulu semua bekas benteng dan istana, kemudian di atas fondasi yang lama dibangunlah kembali seperti semula. Pekerjaan ini berjalan hampir dua tahun penuh (Michrob, 1981:37).
Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan-pemberontakan dan kekacauan di segala bidang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu ada dalam keadaan kegelisahan dan ketakutan.
Bagaimana pun juga sebagai seorang manusia, penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara, sahabat dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Tapi semuanya sudah terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu akhirnya Sultan Haji jatuh sakit sampai meninggal pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Sedakingkin sebelah utara Masjid Agung, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (Ismail, 1983:7).
Melihat sejarah Sultan Haji yang demikian memalukan itu, maka timbullah cerita-cerita rakyat yang hampir semuanya jauh dari data sejarah yang ada. Diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng Tirtayasa bukanlah Sultan Haji, anaknya, tapi orang lain yang berasal dari Pulau Putri atau Pulau Majeti. Sewaktu Sultan Haji pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, ia singgah di suatu pulau yang dinamakan Pulau Putri atau Pulau Majeti. Di sana Sultan bertemu dengan seorang putri cantik yang kemudian ia jatuh cinta dan menikahinya. Dan atas permintaan sang putri, semua pakaian dan perhiasan Sultan diserahkannya sebagai mahar. Pakaian dan perhiasan ini kemudian diberikan kepada kakaknya sang putri yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Kakaknya inilah yang kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku bernama Sultan Haji. Karena pakaian dan wajahnya yang memang mirip, rakyat pun mengakuinya. Dialah yang kemudian memerintah Banten dan berperang dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah selang beberapa tahun kemudian, Sultan Haji (yang asli) pulang ke Banten, dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah, dan untuk menjaga jangan terjadi keributan ia pergi ke Cimanuk-Cikaduen, Pandeglang, aktif menyebarkan agama Islam sampai meninggalnya. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansur atau Syekh Mansur Cikaduen (Roesjan, 1954:26-30 dan Djajadiningrat, 1983: 15). Cerita semacam ini dianggap sangat lemah dalam data sejarah, dan hanyalah dianggap sebagai dongeng yang mengandung nilai filosofis.
Setelah Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Barulah setelah Van Imhoff turun tangan, masalah ini dapat diselesaikan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu, menjadi Sultan Banten, yang kemudian bergelar Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya (1687 - 1690). Ternyata Sultan Abu'l Fadl termasuk orang yang benci kepada kompeni Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Tapi baru berjalan 3 tahun, Sultan jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya, jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin (Ismail, 1983:7).
Karena Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, maka tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu'l Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau juga biasa disebut Kang Sinuhun Ing Nagari Banten yang memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. (Djajadiningrat, 1983:139). Putra Sultan Abu'l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang, sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733 - 1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini banyak terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan kompeni yang sudah di luar batas kemanusiaan -- misalnya dengan adanya kerja rodi, tanam paksa dan sebagainya. Memang pada awal abad ke-18 ini terjadi perubahan politik kompeni dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India, sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karenanya kompeni mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu kompeni banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada kompeni dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada kompeni (Soeroto, 1965:213-214). Dalam praktek penjualan kembali ini, harga jual yang diperoleh rakyat jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jual raja kepada kompeni. Kompeni membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada rakyat (Sanusi Pane, 1950:265).
Cara penimbangan yang semberono, jenjang/birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada kompeni seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari (garam, kain, beras dan lain-lain) yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu (Chijs, 1881:70).
Dalam pada itu, di dalam kraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin sangat dipengaruhi permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia. Sultan Zainul Arifin menunjuk Pangeran Gusti, putranya yang tertua, menjadi Putra Mahkota, tetapi karena Ratu Fatimah tidak menyetujuinya maka, atas keinginan permaisuri, diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah, suami anak Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi Putra Mahkota. Dan karena desakan Ratu Fatimah pula, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia, yang kemudian -- atas suruhan Ratu Fatimah -- di tengah perjalanan ia ditangkap tentara kompeni dan diasingkan ke Sailan (1747).
Atas persetujuan kompeni pula, Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan menjadi Putra Mahkota, dan untuk jasa-jasa kompeni ini, Ratu Fatimah menghadiahkan sebidang tanah di daerah Cisadane dan hak separuh penghasilan tambang emas di Tulang Bawang, Lampung, kepada kompeni. Karena fitnah istrinya pula akhirnya Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni, dituduh gila, dan diasingkan ke Ambon sampai meninggalnya. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, -- tapi sebenarnya, Ratu Fatimahlah yang memegang kuasa.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Dalam penyerangan ini pasukan perlawanan dibagi dua, sebagian langsung menyerang kota Surosowan dan sebagian lagi mencegat bantuan pasukan kompeni dari Batavia. Ratu Bagus Buang dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah barat, yang memaksa pasukan Ratu Fatimah hanya mampu bertahan di benteng saja, sedangkan pasukan Ki Tapa yang mencegat pasukan kompeni dari Batavia, melalui pertempuran hebat, mereka dapat menghancurkan pasukan kompeni. Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru dari negeri Belanda, Batavia pun mungkin dapat direbut pasukan Ki Tapa ini. Karena pasukan bantuan dari negeri Belanda ini pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat dipukul mundur. Demikian juga pengepungan di Surosowan dapat dibuyarkan.
Untuk menenangkan rakyat Banten, gubernur jendral kompeni yang baru, Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Fatimah selanjutnya diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Belanda mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya.
Walau pun kompeni telah mengembalikan Pangeran Gusti dan bahkan menangkap Ratu Fatimah, namun perlawanan rakyat Banten tidak mereda. Barisan rakyat dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan mendadak di sekitar ibukota Surosowan. Tapi dalam serangan besar-besaran yang dilakukan kompeni, akhirnya pasukan perlawanan ini dapat dipukul mundur, hingga mereka hanya dapat bertahan di daerah pengunungan di Pandeglang. Baru pada serangan berikutnya, pasukan pejuang ini menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea, Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat dikuasai kompeni, sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor dan Banten Selatan.
Dalam pada itu di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alimin pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra Mahkota. Tapi dengan pengangkatan itu Sultan Abulma'ali harus menandatangani perjanjian dengan kompeni yang isinya:*)
1)    Banten di bawah kuasa penuh kompeni Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan sultan.
2)    Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan kompeni.
3)    Hanya kompeni Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
4)    Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada kompeni saja.
5)    Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan kompeni.
Mengetahui tentang pasal-pasal perjanjian kompeni ini, beberapa pangeran dan pembesar kraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti. Rakyat kembali mengangkat senjata mengadakan perlawanan, dan kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman. Pasukan penentang mengadakan serangan serentak ke kota Suro-sowan; Ki Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar sedangkan rakyat yang dipimpin pangeran dan ponggawa Banten mengadakan pengacauan di dalam kota. Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan kota Surosowan.
Dengan susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan serangan-serangan tersebut. Ki Tapa menyingkir ke daerah Priyangan. Dan setelah terjadi peperangan di Bandung, akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya Ki Tapa pergi ke Jawa Timur untuk bergabung dengan para pejuang di sana. Sedangkan Ratu Bagus Buang sampai tahun 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Abu'l Nasr Muhammad 'Arif Zainul 'Asiqin. Sultan Abu'l Nasr Muhammad 'Asiqin wafat pada tahun 1773 dan digantikan putranya dengan gelar Sultan Abu'l Mafakhir Muhammad Aliuddin (1773 - 1799).
Karena tidak mempunyai anak laki-laki, Sultan 'Aliuddin, setelah wafat diganti oleh adiknya, Pangeran Muhiddin, dengan gelar Sultan Abu'lfath Muhammad Muhiddin Zainushalihin yang memerintah pada tahun 1799 sampai dengan 1801. Pada tahun 1801, Sultan Muhiddin dibunuh oleh Tubagus Ali, seorang putra Sultan 'Aliuddin, dan Tubagus Ali sendiri dapat dibunuh oleh pengawal kesultanan. Selanjutnya yang menjadi Sultan adalah putra Sultan 'Aliuddin, dari selir (istri yang bukan permaisuri), dengan gelar Sultan Abu'l Nasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801 - 1802).
Pada tahun 1802 kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya yang kemudian pada tahun 1803 digantikan putra kedua Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin dengan gelar Sultan Abu'lnasr Muhammad Ishak Zainulmuttaqin atau Sultan Aliyuddin II (1803 - 1808).
Pada akhir abad ke-18, yang berkuasa di sebagian besar kerajaan di nusantara hakekatnya adalah kompeni Belanda, sultan statusnya tidak lebih dari pegawainya saja. Melalui tangan Sultan, kompeni dapat memerintahkan apa saja kepada rakyat. Dalam hal perdagangan, kompeni bukan saja menghendaki monopoli pembelian hasil bumi, tetapi juga dalam hal perantaraan dan penjualan. Kompeni dapat memaksa Banten (dan Lampung) menjual lada hanya kepadanya saja, demikian juga dalam hal penanamannya. Cengkeh yang dibeli kompeni dari Ambon dan pala dari Banda dibelinya dengan barang-barang Eropa atau lokal, yang dari barang-barang itu saja sudah diambil keuntungan 50% hingga 75%. Sedangkan rempah-rempah yang dibeli dengan harga 7,5 sen per pon dijualnya 300 sen. Garam dari Rembang, Gresik dan Japara yang dibeli 6 ringgit per 500 pond dijual kompeni kepada rakyat Andalas seharga 30 hingga 35 ringgit per 300 pond. Di Banten pun ditetapkan bahwa hanya kompeni yang boleh menjual kain-kain dari Koromandel, keramik Cina, dan lain-lain.
Untuk lebih banyak mendapatkan laba, kompeni pun menerapkan aturan "pemberian wajib" kepada beberapa negara taklukannya. Mataram diharuskan memberikan beras dengan jumlah yang ditentukan dan harga yang juga ditentukan semurah-murahnya oleh kompeni. Banten diharuskan memberikan lada, Priyangan harus memberikan kayu, beras, lada, ternak, kapas dan nila. Dengan ketentuan ini, sultan pun mewajibkan rakyatnya untuk menyediakan kehendak kompeni itu dengan harga yang rendah.
Tahun 1707 kompeni mewajibkan kepada rakyat Priyangan untuk menanam kopi yang hasilnya harus diserahkan kepada kompeni. Mula-mula dihargakan 21 ringgit per pikul, kemudian diturunkan menjadi 5 ringgit per pikul, itu pun dibayar separoh dengan cara barter dan separohnya lagi dengan "surat utang". Dan tidak jarang pula, untuk "men-stabilkan harga" sewaktu-waktu tanaman kopi itu harus ditebang sebagian yang kemudian sewaktu- waktu harus ditanam baru lagi.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, atas perintah kompeni Belanda, rakyat Banten yang berumur lebih dari 16 tahun dan berbadan sehat, harus menanam 500 batang pohon lada. Lada yang dihasilkan harus dijual kepada kompeni melalui petugas kerajaan yang ditunjuk secara barter dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Karena barang kebutuhan pokok ini dihargakan terlalu tinggi dan harga sebahar (tiga pikul) lada kurang dari 4 ringgit Spanyol, maka rakyat penanam hanya mendapat sedikit kelebihannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena ketentuan ini, Belanda pada tahun 1774 dapat mengirimkan 19.000 bahar lada ke negeri Belanda. Semua ketentuan kompeni ini menambah kemakmuran kompeni yang kemudian dikirimkan ke negeri Belanda, di lain pihak rakyat pribumi semakin menderita.

Tangga di situs keraton Surosowan

PENGHANCURAN SUROSOWAN OLEH DAENDELS
Pada akhir abad ke-18, walau pun kompeni dapat menguasai hampir seluruh kepulauan nusantara, namun kompeni pun mengalami kemunduran dalam perdagangannya. Hal ini disebabkan karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, mengakibatkan hutang kompeni (VOC) bertumpuk. Di antara sebab penting lain dalam masalah ini adalah :
1)    Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis dan Ingris.
2)    Miskinnya penduduk nusantara, terutama pulau Jawa karena monopoli, sehingga rakyat tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
3)    Turunnya harga rempah-rempah di pasaran dunia, karena di samping seringnya penduduk pribumi yang melanggar monopoli kompeni, Inggris pun sudah berhasil menanamnya di India.
4)    Banyak pegawai VOC melakukan korupsi.
5)    Banyak biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru, terutama di Jawa dan Madura.
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda, dan sejak saat itulah kepulauan Nusantara dijajah Belanda.
Pada tahun 1789 terjadi Revolusi Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, yang mengguncangkan Eropa. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis, kecuali Inggris; Belanda pun dapat dapat dikuasainya tahun 1807 -- sehingga otomatis daerah jajahan Belanda, termasuk kepulauan Nusantara berada di tangan Perancis. Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon, yang diberi kuasa di Belanda, mengangkat Herman William Daendels sebagai Gubernur Jendral di kepulauan Nusantara. Ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan tentara Inggris yang berpangkalan di India. Untuk tugas tersebut Daendels membangun sarana-sarana pertahanan: jalan-jalan pos, personil, barak militer, benteng, pelabuhan, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan rodi atau kerja paksa, yaitu para pekerja tanpa upah.
Pekerjaan pertama adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Deandels memerintahkan kepada Sultan Banten mengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya. Tapi karena daerahnya berawa-rawa maka banyak pekerja yang mati, terkena hawa beracun atau penyakit malaria, atau melarikan diri.
Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biangkeladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan Sultan yang dipanggil datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya:
1)    Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
2)    Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
3)    Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak oleh Sultan Aliudin. Mengetahui sikap Sultan yang demikian, dengan segera (dan sembunyi-sembunyi) dikirimnya pasukan dalam jumlah besar yang dipimpin Daendels sendiri ke Banten, yang dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Kemudian diutuslah Komondeur Philip Pieter du Puy dengan beberapa orang pengawalnya ke istana Surosowan untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan, tanpa memberitahukan bahwa pasukan Belanda sudah disiapkan di luar kota. Namun karena kebencian yang sudah memuncak kepada Belanda, Du Puy dan seluruh pengawalnya dibunuh oleh pasukan pengawal kraton di depan pintu gerbang benteng Surosowan.
Mengetahui keadaan utusannya itu Daendels segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang istana Surosowan pada hari itu juga, yakni tanggal 21 Nopember 1808 (Chijs, 1881:43). Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang di luar dugaan, sehingga Sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. Prajurit-prajurit Banten dengan keberanian yang mengagumkan mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Deandels dapat menumpas semua itu. Surosowan dapat direbutnya, Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan Patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga, dan Sadang dimasukkan ke dalam teritorial Batavia. Dan sebagai Sultan Banten diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809). Walaupun masih bergelar Sultan, namun kekuasaannya tidak lebih dari seorang pegawai Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa, dengan gaji 15.000 real setahun dari Belanda (Sanusi Pane, 1950 b:113).
Tindakan kejam Deandels ini menimbulkan kebencian rakyat kepada Belanda semakin memuncak. Perampokan kapal-kapal Belanda sering terjadi, demikian juga pengacauan-pengacauan di darat yang digerakkan oleh para ulama. Mereka bermarkas di daerah Cibungur, pantai Teluk Marica. Serangan pasukan Belanda ke daerah ini tidak berhasil, bahkan serangan yang dipimpin Daendels sendiri pun dapat dipukul mundur. Daendels mencurigai Sultan sebagai dalang kerusuhan tersebut, untuk itu bersama pasukannya ia datang ke Banten. Sultan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan istana Surosowan dihancurkan dan dibakar (1808).

Bangunan di situs Keraton Kaibon

Untuk melemahkan perlawanan rakyat, daerah Banten dibagi dalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten: Banten Hulu, Caringin dan Anyer. Ketiga daerah tersebut di bawah pengawasan landros (semacam residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk daerah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafi'uddin (1809 - 1813), putra Sultan Muhyiddin Zainul Shalikhin (Sanusi Pane, 1950 b:14 dan Ismail, 1983:270); karena keraton Surosowan telah hancur maka pusat pemerintahan dialihkan ke Keraton Kaibon. Demikianlah, semenjak kejadian itu kesultanan Banten lenyap dan dilupakan orang. Perlawanan rakyat yang tanpa hentinya pun dihancurkan dengan kejam.
Tentang pembuatan pelabuhan militer di Ujung Kulon, karena banyaknya pekerja yang mati dan daerahnya yang berawa-rawa, maka pembangunannya dihentikan, dan dipindahkan ke Anyer. Pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan pos dari Anyer sampai Panarukan (± 1000 Km). Jalan ini dikerjakan hanya dalam tempo satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten.
Melihat tindakan Daendels yang dianggap sangat otokratis, maka Kaisar Napoleon pada tahun 1810 memanggil Daendels untuk pulang ke negerinya. Sebagai penggantinya, Napoleon menugaskan  Jansens menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda.
Sekitar bulan Agustus 1811 pasukan Inggris dari India, dengan menggunakan 100 buah kapal, mendarat di Banten. Dengan mudah tentara Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles -- dengan bantuan beberapa raja yang sangat membenci Belanda -- dapat mengalahkan tentara Belanda. Jansen dengan beberapa sisa tentaranya melarikan diri ke Semarang, dan akhirnya menyerah tanpa syarat. Belanda menandatangani perjanjian menyerah pada tanggal 17 September 1811 di Salatiga; dengan demikian seluruh daerah jajahan Perancis ini beralih tangan di bawah kuasa Inggris.

DAFTAR REFERENSI
Ambary, Hasan Muarif, Halwany Michrob, John N. Miksic, 1988, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten, Jakarta: Depdikbud.
Berg, van den, H.J. Kroeskamp, Simandjoentak, 1952, Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia, Jld. I, Jakarta: Wolters.
Burger, dan Prajudi, 1962, Sejarah Ekonomis Sosialogis Indonesia, Jakarta: Pradjaparamita.
Chijs, J.A. van der, 1881, Oud Bantam, Batavia: Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunstenen Wetenschappen.
Djajadiningrat, Husein, 1983, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Jakarta: PT Jambatan - KITLV.
Hamka, 1976, Sejarah Ummat Islam, Jld IV, Jakarta: Bulan Bintang.
----------, 1982, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Muhammad, 1983, Petunjuk Jalan dan Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten, Serang: Saudara.
Lombart, Dennis, 1967, Le Sultanat d'Atjeh autemps d'Iskandar Muda,
Michrob, Halwany, 1981, Pemugaran dan Penelitian Arkeologi sebagai Sumbangan Data bagi Perkembangan Sejarah Kerajaan Islam Banten, Skripsi, Jakarta: IPPM.
Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masalalu Banten, Serang: Saudara.
Roesjan, Tb.G., 1954, Sejarah Banten, Jakarta: Arief.
Sanusi Pane, 1950, Sejarah Indonesia, Jld. II, Jakarta: Balai Pustaka.
Tamar Djaja, 1966, Pusaka Indonesia, Jld. I, Jakarta: Bulan Bintang.
Tjandrasasmita, Uka (Ed.), 1975, Sejarah Nasional Indonesia, Jld. III, Jakarta: Depdikbud.
------------, 1967, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, Jakarta: Yayasan Nusalarang.
-----------------
*)  Dalam kenyataannya, hancurnya kesultanan Banten bukanlah karena kalah perang dengan kompeni, tapi lebih banyak disebabkan ditandatanganinya perjan-jian-perjanjian yang berat sebelah. Kesultanan mewarisi utang kepada kompeni, sebagai penanggungan biaya perang semenjak Sultan Haji, yang tidak pernah lunas terbayar.>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar