Selasa, 17 Desember 2013

CANDI SIPAMUTUNG, PADANG LAWAS, SUMUT, Bukti Peradaban Abad XI

Candi Sipamutung di Desa Siparau Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Padanglawas merupakan bukti sejarah peradaban yang diperkirakan berdiri pada abad XI.
Menuju lokasi candi, jalan aspal  hanya sampai di Desa Binanga dan melewati jalan desa sepanjang  tiga km. Kemudian meniti  jembatan gantung yang berada di atas sungai Barumun. Komplek candi berjarak 250 meter dari pinggir aliran Sungai Barumun.

Sejumlah pendapat mengatakan, lokasi tersebut merupakan titik awal dari asal-usul manusia jaman dahulu memasuki wilayah Padanglawas dan sekitarnya, karena pada saat itu perjalanan hanya dapat dilalui melalui jalur laut dan sungai.

Pendapat itu menyatakan para leluhur memasuki Padanglawas  melalui Laut Labuhan Bilik (Labusel) kemudian berangsur menuju Sungai Barumun dan  menemukan Padanglawas sebagai tanah harapan.

Candi yang dikelilingi oleh rangkaian perbukitan rendah tersebut  terletak, di pinggir Sungai Barumun yang membelah dataran Padanglawas dan berjarak sekitar 40 Km dari ibukota Kabupaten Padanglawas, Sibuhuan.
 
Luas lahan percandian 6000 m2, dan luas bangunan 3480 m2. Kompleks Candi Sipamutung dikelilingi oleh tembok bata yang berfungsi sebagai pagar , di sisi timur terdapat gapura atau gerbang dengan ukuran 74 x 74 m. Di dalamnya terdapat sebuah Candi Induk dan enam buah Perwara serta 6 candi atau biaro kecil . Terdapat juga artefak-artefak dilokasi ini antara lain Bhairawa-Bhairawa menggunakan batuan tufa.



Bentuk dan ukurannya  terdiri dari sebuah biara induk menghadap ke timur dengan denah bujur sangkar berukuran 11 X 11 meter, tinggi 13 meter. terdiri dari bagian  kaki, badan, dan atap. Sedangkan di kedua sisinya terdapat 6 biaro yang lebih kecil, pada bagian bawahnya tersusun 16 buah stupa yang lebih kecil.  Lima buah Biaro dari bata dan sebuah dari batu andesit.

Biaro-biaro yang terbuat dari bata adalah Biaro perwara di sebelah timur candi induk berbentuk mandapa berdenah segi empat berukuran 10,25 X 9,9 meter, tinggi 1,15 meter. . 

Melihat keadaan lokasi dari luar komplek candi, kemungkinan adalah  bekas sebuah benteng yang juga tempat pemujaan, karena masih terdapat bekas dinding dari bahan tanah  dan paret pembatas mengelilingi komplek candi  diperkirakan seluas 100 hektar. Beberapa kalangan menyebut Kompleks Candi Sipamutung merupakan  satu-satunya candi yang didirikan Umat Budha dan paling megah di antara candi yang terdapat di Kabupaten  Padang Lawas dan Padang Lawas Utara yang umumnya milik umat Hindu


Read more: http://warnainfo.blogspot.com/2012/06/candi-sipamutung-padanglawas.html#ixzz2nkgiZTBg

CANDI MUARA TAKUS, Candi Tua di Muara Sungai

SEJARAH CANDI MUARA TAKUS

Di Daerah riau banyak terdapat peninggalan Sejarah dan Purbakala,salah satunya terdapat di Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten kampar.  Desa Muara Takus terkenal baik didalam negeri maupun di luar negeri khususnya di Asia karena adanya Gugusan Candi Muara Takus. Menurut pengembara china I-Tsing  Candi Muara Takus tidak terlepas dari Sriwijaya dan ia menyebutkan bahwa ibukota Sriwijaya berada disuatu tempat dimana pada tengah hari tidak terlihat bayangan seseorang yang berdiri.
Penampakan Candi Tua dan Candi Mahligai di Gugusan Candi Muara Takus

Candi Muara Takus ditemukan pada tahun 1860 oleh Cornet De Groot, hasil penemuannya dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul "KOTO CANDI", tulisan tersebut dimuat dalam "Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde".
Candi Tua, merupakan Candi terbesar di Gugusan candi Muara Takus
kemudian setelah ditemukannya Candi Muara Takus dan setelah literatur dari Cornet De Groot dipublikasikan banyak peneliti dari luar negeri yang melakukan penelitian mengenai Muara Takus diantaranya ada G DU RUY VAN BEST HOLLE, W.P. GRONEVELD, R.D.M VERBEEK dan E.TH. VAN DELDEN, J.W. YZERMAN, DR. F.M. SCHNITGER, BOSCH, BENET KEMPERS dan lain lain dan sebagian besar dari hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sesunggugnya Sriwijaya berada di Muara Takus dan bukan berada di Sumatera Selatan.
Candi Mahligai




ASAL MUASAL NAMA MUARA TAKUS


Muara Takus berasal dari nama sebuah anak sungai yang bermuara ke Batang Kampar Kanan. Menurut Duta Besar Singapura yang pernah berkunjung ke Muara Takus pada tahun 1977 menyatakan bahwa Muara takus terdiri dari dua kata yaitu "Muara" dan "Takus", menurut pendapatnya "Muara" berarti tempat dimana sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau sungai yang lebih besar, sedangkan "Takus" berasal dari Bahasa China yang artinya : TA = besarKU = TuaSE = Candi. Jadi arti keseluruhannya  adalah Candi Tua yang besar yang terletak di Muara Sungai
Candi Bungsu




LETAK GUGUSAN CANDI MUARA TAKUS


Candi Muara Takus Candi adalah candi Budha yang terletak di Kecamatan XIII Koto kampar Kabupaten kampar Provinsi Riau. Muara Takus ini jaraknya lebih kurang 150kilometer  dari kota Pekanbaru
Candi Palangka
 
Gugusan Candi Muara Takus terletak di garis Khatulistiwa 0"21 Lintang Utara dan 100"39 Bujur Timur. Gugusan Candi ini dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari batu putih yang berukuran 74meter x 74 meter dan terletak di pinggir jalan Desa Muara takus dan Desa tanjung. Dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi yaitu Candi 
Mahligai,Candi Palangka, Candi Bungsu,  Candi Tua, Tanggul Kuno, dan beberapa bangunan lainnya.

Candi Tua dan Candi Bungsu pada Gugusan candi Muara Takus.




SUMBER :
Penerus Ramli DT. RAJO DUO BALAI
- See more at: http://www.riaudailyphoto.com/2011/12/candi-muara-takus.html#sthash.du8ib4Gj.dpuf

SITUS PURBAKALA TAPURARANG, Keelokan Situs Tua di Papua Barat

MENGUNJUNGI Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, laksana mengunjungi sebuah kota tua. Di wilayah distrik ini terdapat situs kuno yang menyimpan keajaiban dengan misteri di dalamnya. Situs Purbakala Tapurarang tak hanya menarik, tapi juga mengundang orang untuk datang menjumput keelokannya.


Lukisan tebing yang merupakan situs kuno Kokas di Andamata, Distrik Kokas, Fak-Fak, Papua Barat. Lukisan ini merupakan peninggalan jaman prasejarah
Salah satu situs kuno yang terkenal di Kokas adalah lukisan di tebing bebatuan terjal. Oleh masyarakat setempat, tebing bebatuan terjal ini biasa disebut Tapurarang. Di Distrik Kokas kekayaan peninggalan sejak zaman prasejarah ini bisa dijumpai di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras.

Lantas, apa keunikan lukisan berupa gambar telapak tangan manusia dan binatang di dinding tebing tersebut? Meski sudah berabad-abad lamanya, lukisan yang dibuat dengan pewarna dari bahan-bahan alami tersebut masih tetap terlihat jelas hingga saat ini. Warna merah pada lukisan tebing ini juga menyerupai warna darah manusia. Oleh karenanya masyarakat setempat juga sering menyebut lukisan tersebut sebagai lukisan cap tangan darah.
Bagi masyarakat setempat, lokasi lukisan tebing ini merupakan tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan ini adalah wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek yang berubah menjadi setan kaborbor atau hantu yang diyakini sebagai penguasa lautan paling menakutkan. Nenek ini meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ia tumpangi.

Dari seluruh penumpang di perahu itu, hanya nenek ini yang meninggal. Konon tak ada satu pun penumpang di atas perahu yang berusaha membantu sang nenek untuk menyelamatkan diri. Merasa sakit hati, arwah nenek yang telah berubah menjadi setan kaborbor mengutuk seluruh penumpang perahu yang berusaha menyelamatkan diri di atas tebing batu. Karena kutukan tersebut seluruh penumpang dan hasil-hasil laut yang dibawa seketika berubah menjadi lukisan tebing.

Di lokasi lukisan tebing ini Anda juga bisa menyaksikan kerangka-kerangka tulang manusia. Kerangka ini dipercaya merupakan kerangka leluhur atau nenek moyang masyarakat Kokas. Pada zaman dahulu masyarakat di sini memiliki kebiasaan meletakkan jasad leluhur yang meninggal di tebing batu, gua, tanjung ataupun di bawah pohon besar yang dianggap sakral.
Tulang tengkorak terdapat di tebing di Andamata, Distrik Kokas, Fak-Fak, Papua Barat. Tulang tengkorak manusia ini adalah sisa kebiasaan masyarakat setempat yang tidak menguburkan jazad leluhur melainkan meletakkannya di tebing batu, gua, tanjung ataupun di bawah pohon besar yang khusus atau dianggap sakral.

Tertarik menelusuri jejak prasejarah di Kokas? Dari terminal Fakfak Anda harus menempuh perjalanan darat menuju Kokas menggunakan angkutan luar kota. Jarak Fakfak-Kokas sejauh 50 kilometer akan ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Anda cukup merogoh kocek sebesar Rp 25.000 per orang, sekali jalan. Tiba di Kokas, perjalanan masih harus dilanjutkan menggunakan longboat dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Jika air sedang pasang, Anda bisa naik ke tebing dan menyaksikan lukisan ini dari dekat. Namun, jika air surut, keindahan lukisan tebing ini hanya bisa dinikmati dari atas longboat.

Sumber: http://indotimnet.wordpress.com/situs-purbakala-tapurarang/

SITUS BERSEJARAH PUGUNG RAHARJO

A. Selayang Pandang
Taman Purbakala Pugung Raharjo adalah salah satu situs bersejarah yang terletak di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur. Taman purbakala ini diperkirakan merupakan peninggalan dari dua zaman, yaitu Zaman Megalitik (Batu Besar) dan Zaman Klasik. Zaman Megalitik ditandai dengan berbagai peninggalan yang terbuat dari batu. Sedangkan Zaman Klasikadalah masa di mana pengaruh agama Budha dan Hindu mulai masuk ke wilayah yang kini disebut Indonesia. Zaman ini diperkirakan berlangsung sekitar abad ke-5 hingga 15 Masehi.
Taman purbakala seluas 30 hektar ini dulunya masih merupakan kawasan hutan lebat yang tak terjamah oleh manusia selama ratusan tahun lamanya. Kawasan tersebut baru mulai dihuni sekitar tahun 1954 oleh para transmigran dari Pulau Jawa. Ketika sedang menebang hutan untuk lokasi permukiman, mereka menemukan gundukan tanah berbentuk persegi empat, susunan batu besar, dan batu arca yang diberi nama Putri Badhariah atau lebih dikenal dengan nama patung Budha.

Penemuan situs bersejarah tersebut kemudian dilaporkan ke Dinas Purbakala Jakarta. Setelah melakukan survei dan penelitian awal pada tahun 1968, para ahli benda bersejarah menyimpulkan bahwa Taman Purbakala Pugung Raharjo merupakan situs peninggalan Zaman Megalitik dan Klasik. Sejak ditemukan, Taman Purbakala Pugung Raharjo telah mengalami dua kali pemugaran, yaitu pada tahun 1977 dan 1984 dengan menyusun kembali situs bersejarah tersebut ke posisi semula. Sampai sekarang, situs purbakala ini menjadi aset budaya, sejarah, dan wahana pembelajaran, serta tempat rekreasi keluarga.
Berbagai media sejarah yang menjadi aset di tempat ini cukup membantu para putra-putri Anda untuk sekadar belajar tentang Lampung masa lampau. Rekreasi menjadi semakin menyenangkan karena lokasi situs ini berada di area pegunungan dengan hawa yang sejuk.


B. Keistimewaan
Taman Purbakala Pugung Raharjo terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 80 meter di atas permukaan laut (dpl). Perjalanan menuju ke lokasi obyek wisata ini menjadi daya tarik tersendiri. Di sepanjang perjalanan, Anda akan disuguhkan pemandangan perkebunan karet yang sangat luas. Setiba di lokasi, Anda dapat menikmati suasana yang nyaman dan sejuk karena kawasan situs purbakala ini dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Selain itu, Anda juga dapat menikmati sejuknya air kolam peninggalan Zaman Megalitikum yang terletak di sebelah timur situs purbakala. Menurut cerita, air kolam tersebut dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan menjadi obat awet muda jika dipakai mandi.
Setelah berkeliling melewati jalan setapak sambil menikmati suasana sejuk, Anda dapat menyaksikan beragam jenis benda bersejarah yang berasal dari Zaman Megalitik dan Klasik. Benda-benda bersejarah dari Zaman Megalitik, di antaranya 2 buah benteng berupa gundukan tanah yang terletak di sebelah timur dan barat situs purbakala. Kedua benteng tersebut memiliki tinggi yang sama yaitu sekitar 2 - 3,5 meter, namun ukuran panjangnya berbeda. Benteng yang terletak di sebelah timur berukuran panjang 1.200 meter, sedangkan benteng yang di sebelah barat memiliki panjang sekitar 300 meter. Dulu, kedua benteng tersebut berfungsi sebagai pelindung dari serangan binatang buas dan musuh. Di bagian luar benteng terdapat parit sepanjang 1,2 kilometer yang mengelilingi situs purbakala.
Benda-benda bersejarah Zaman Megalitik lain yang dapat wisatawan saksikan, di antaranya punden berundak (bangunan batu bertingkat) yang terdiri dari 13 buah dan berfungsi sebagai tempat pemujaan; lumpang batu, yakni batu yang memiliki satu lubang; 4 buah batu bergores yang dulunya berfungsi sebagai tempat mengasah mata tombak atau kapak batu; sebuah kolam permandianMegalitik yang terletak di sebelah timur situs purbakala; 4 buah dolmen atau meja batu; 19 batu berlubang yang terbuat dari batu kali (andesit) yang berfungsi sebagai tempat melumatkan suatu benda yang cukup keras; dan sebuah batu mayat, yaitu batu yang menyerupai bungkusan mayat.
Selain benda-benda peninggalan Zaman Megalitikum, situs ini juga menyimpan aset berupa benda-benda peninggalan dari Zaman Klasik. Benda-benda tersebut, antara lain arca, prasasti, keramik lokal maupun asing yang merupakan peninggalan Dinasti Han, Yuan, Sung, dan Ming. Anda juga dapat menyaksikan sebuah arca tipe Polynesia di museum yang terletak di sekitar kompleks situs purbakala.

C. Lokasi
Taman Purbakala Pugung Raharjo berada di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.
D. Akses
Taman Purbakala Pugung Raharjo terletak sekitar 52 kilometer di sebelah timur Kota Bandar Lampung. Jika berangkat dari Kota Sukadana, ibukota Kabupaten Lampung Timur, Anda dapat menggunakan angkutan umum jurusan Sribawono dan turun di perempatan Pugung Raharjo. Jika berangkat dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, Anda dapat mengambil bus jurusan Panjang dan berhenti di PJR Panjang. Setelah itu, Anda mengambil bus jurusan Sribawono dan turun di Perempatan Pugung Raharjo. Di perempatan tersebut, Anda mengambil angkutan jurusan Pasar Pugung Raharjo lalu melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkutan umum jurusan Taman Purbakala Pugung Raharjo.
E. Tiket Masuk
Hingga saat ini, data resmi dari pemerintah tentang harga tiket masuk ke Taman Purbakala Pugung Raharjo belum diketahui.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Taman Purbakala Pugung Raharjo dilengkapi berbagai fasilitas penunjang, seperti toilet, tempat parkir, dan museum yang terletak di sekitar situs purbakala. Situs ini berisi prasasti-prasasti peninggalan nenek moyang. (Samsuni/iw/41/02-2012)

Dari berbagai sumber
Sumber foto:
·          http://www.jalanjalanyuk.com/taman-purbakala-pugung-raharjo-di-lampung/
·          http://berita-lampung.blogspot.com/2010/10/rahasia-situs-taman-purbakala-pugung.html
·          http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7672824

Senin, 11 November 2013

DATA SEJARAH TENTANG MASA KEHANCURAN KESULTANAN BANTEN

Tragedi Berkepanjangan: Data Sejarah Tentang Masa Kehancuran Kesultanan Banten

Drs. H.A. Mudjahid Chudari, MBA.
Peta Banten tahun 1724

AWAL MASA KESURAMAN KESULTANAN BANTEN
Dengan ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf, dan Pangeran Purbaya serta pengikut-pengikut setianya, membawa Banten ke ambang pintu penjajahan kompeni. Peperangan sudah mulai berkurang, tapi rakyat di sana-sini masih mengadakan perlawanan walau pun semuanya tidaklah begitu berarti. Sementara itu, dengan restu kompeni Belanda pula Sultan Haji dikukuhkan menjadi Sultan Banten dengan beberapa persyaratan. Tapi dengan demikian, kedaulatan kerajaan Banten telah runtuh. Apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684, yang isinya sebagai berikut:
1)    Perjanjian 10 Juli 1659 tetap masih berlaku dengan utuh kecuali beberapa hal yang diubah dalam perjanjian ini. Di samping itu untuk kedamaian antara Banten dan kompeni Belanda, maka Banten dilarang memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada musuh-musuh kompeni. Demikian juga Banten tidak boleh turut campur dalam politik di Cirebon.
2)    Penduduk Banten tidak boleh datang ke Batavia, demikian juga sebaliknya, kecuali ada keperluan khusus dengan mendapat surat izin dari yang berwenang. Apabila memasuki daerah-daerah tersebut tanpa surat izin, maka orang itu dianggap sebagai musuh dan boleh ditangkap atau dibunuh.
3)    Sungai Untung Jawa (Cisadane) dan garis sambungnya ke selatan dan utara sampai laut Kidul, menjadi batas daerah Banten dan kompeni.
4)    Apabila ada kapal milik kompeni atau milik Banten atau warganya terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan Sumatra, maka haruslah mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barang- barangnya.
5)    Untuk kerugian-kerugian perang dan perampokan oleh penduduk Banten atas kompeni, maka Sultan harus menggantikan kerugian sejumlah 12.000 ringgit kepada kompeni.
6)    Tentara ataupun penduduk sipil atau siapa saja yang berani melanggar hukum yang telah disepakati ini akan ditangkap dan diserahkan kepada kompeni.
7)    Sultan Banten harus melepas tuntutannya atas Cirebon dan harus menganggap sebagai negara sahabat yang bersekutu di bawah lindungan kompeni.
8)    Sesuai dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal 4 yang menyatakan bahwa kompeni tidak memberikan sewa tanah atau rumah yang digunakan untuk loji, maka menyimpang dari hal itu kompeni akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
9)    Sultan berkewajiban untuk waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan, perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain. Kerena hal itu bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10)  Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta seluruh keturunannya haruslah menerima seluruh pasal perjanjian ini, dimaklumi serta dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan, demikian pula dari pihak kompeni.
Perjanjian ini ditandatangani di Keraton Surosowan dan dibuat dalam bahasa Belanda, Jawa dan Melayu yang sama maksud dan isinya. Penandatangan dari pihak kompeni adalah Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Sedangkan dari pihak Banten ditandatangani oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita, 1967:54).
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, lenyaplah kejayaan dan kemajuan Banten, ditelan monopoli dan penjajahan kompeni Belanda. Bahkan akibat perjanjian ini pulalah akhirnya Kesultanan Banten menjadi hancur dan lenyap.
Bertumpuk-tumpuklah penderitaan rakyat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng, pajak yang tinggi -- karena Sultan harus membayar biaya perang -- tapi juga karena monopoli perdagangan kompeni. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk dengan harga yang sangat rendah. Raja seolah-olah hanya sebagai pegawai kompeni dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis dan Denmark, karena dianggap banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir dari Banten dan mereka pindah ke Bangkahulu (Chijs, 1881:59).
Dengan demikian maka tidaklah mengherankan apabila pada waktu itu terjadi banyak kerusuhan dan pemberontakan yang ditimbulkan oleh rakyat. Perampokan-perampokan dan pembunuhan-pembunuhan sering dialami pedagang-pedagang dan patroli kompeni di luar atau pun di dalam kota. Bahkan pernah terjadi pembakaran yang menghabiskan bangunan-bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal-kapal kompeni yang dibajak oleh "bajak negara" yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang (Michrob, 1981:39). Kemungkinan dalam operasinya banyak dibantu oleh pelaut-pelaut asal Sumatra yang dipimpin oleh Ibn Iskandar (Soeroto, 1965:212).
Untuk memperkuat pertahanan dan kuasanya atas Banten, maka kompeni Belanda membuat sebuah benteng di pantai utara dekat pasar Karangantu. Benteng ini diberi nama Spelwijk -- sebagai peringatan kepada Speelman -- pada tahun 1682, dan kemudian disempurnakan lagi pada tahun 1685 (Chijs, 1881:25). Akibat perang saudara yang berkepanjangan itu, banyak bangunan di dalam kota yang rusak berat, seperti istana dan benteng Surosowan. Untuk memperbaiki semuanya itu, Sultan meminta kepada Hendrik Laurenszoon van Steenwijk Cardeel, seorang arsitek bangsa Belanda yang dikatakan sudah beragama Islam -- yang juga membangun benteng Spelwijk (Chijs, 1881:36). Diratakannya dulu semua bekas benteng dan istana, kemudian di atas fondasi yang lama dibangunlah kembali seperti semula. Pekerjaan ini berjalan hampir dua tahun penuh (Michrob, 1981:37).
Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan-pemberontakan dan kekacauan di segala bidang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu ada dalam keadaan kegelisahan dan ketakutan.
Bagaimana pun juga sebagai seorang manusia, penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara, sahabat dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Tapi semuanya sudah terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu akhirnya Sultan Haji jatuh sakit sampai meninggal pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Sedakingkin sebelah utara Masjid Agung, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (Ismail, 1983:7).
Melihat sejarah Sultan Haji yang demikian memalukan itu, maka timbullah cerita-cerita rakyat yang hampir semuanya jauh dari data sejarah yang ada. Diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng Tirtayasa bukanlah Sultan Haji, anaknya, tapi orang lain yang berasal dari Pulau Putri atau Pulau Majeti. Sewaktu Sultan Haji pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, ia singgah di suatu pulau yang dinamakan Pulau Putri atau Pulau Majeti. Di sana Sultan bertemu dengan seorang putri cantik yang kemudian ia jatuh cinta dan menikahinya. Dan atas permintaan sang putri, semua pakaian dan perhiasan Sultan diserahkannya sebagai mahar. Pakaian dan perhiasan ini kemudian diberikan kepada kakaknya sang putri yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Kakaknya inilah yang kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku bernama Sultan Haji. Karena pakaian dan wajahnya yang memang mirip, rakyat pun mengakuinya. Dialah yang kemudian memerintah Banten dan berperang dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah selang beberapa tahun kemudian, Sultan Haji (yang asli) pulang ke Banten, dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah, dan untuk menjaga jangan terjadi keributan ia pergi ke Cimanuk-Cikaduen, Pandeglang, aktif menyebarkan agama Islam sampai meninggalnya. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansur atau Syekh Mansur Cikaduen (Roesjan, 1954:26-30 dan Djajadiningrat, 1983: 15). Cerita semacam ini dianggap sangat lemah dalam data sejarah, dan hanyalah dianggap sebagai dongeng yang mengandung nilai filosofis.
Setelah Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Barulah setelah Van Imhoff turun tangan, masalah ini dapat diselesaikan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu, menjadi Sultan Banten, yang kemudian bergelar Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya (1687 - 1690). Ternyata Sultan Abu'l Fadl termasuk orang yang benci kepada kompeni Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Tapi baru berjalan 3 tahun, Sultan jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya, jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin (Ismail, 1983:7).
Karena Sultan Abu'l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, maka tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu'l Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau juga biasa disebut Kang Sinuhun Ing Nagari Banten yang memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. (Djajadiningrat, 1983:139). Putra Sultan Abu'l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang, sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733 - 1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini banyak terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan kompeni yang sudah di luar batas kemanusiaan -- misalnya dengan adanya kerja rodi, tanam paksa dan sebagainya. Memang pada awal abad ke-18 ini terjadi perubahan politik kompeni dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India, sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karenanya kompeni mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu kompeni banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada kompeni dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada kompeni (Soeroto, 1965:213-214). Dalam praktek penjualan kembali ini, harga jual yang diperoleh rakyat jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jual raja kepada kompeni. Kompeni membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada rakyat (Sanusi Pane, 1950:265).
Cara penimbangan yang semberono, jenjang/birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada kompeni seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari (garam, kain, beras dan lain-lain) yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu (Chijs, 1881:70).
Dalam pada itu, di dalam kraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin sangat dipengaruhi permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia. Sultan Zainul Arifin menunjuk Pangeran Gusti, putranya yang tertua, menjadi Putra Mahkota, tetapi karena Ratu Fatimah tidak menyetujuinya maka, atas keinginan permaisuri, diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah, suami anak Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi Putra Mahkota. Dan karena desakan Ratu Fatimah pula, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia, yang kemudian -- atas suruhan Ratu Fatimah -- di tengah perjalanan ia ditangkap tentara kompeni dan diasingkan ke Sailan (1747).
Atas persetujuan kompeni pula, Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan menjadi Putra Mahkota, dan untuk jasa-jasa kompeni ini, Ratu Fatimah menghadiahkan sebidang tanah di daerah Cisadane dan hak separuh penghasilan tambang emas di Tulang Bawang, Lampung, kepada kompeni. Karena fitnah istrinya pula akhirnya Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni, dituduh gila, dan diasingkan ke Ambon sampai meninggalnya. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, -- tapi sebenarnya, Ratu Fatimahlah yang memegang kuasa.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Dalam penyerangan ini pasukan perlawanan dibagi dua, sebagian langsung menyerang kota Surosowan dan sebagian lagi mencegat bantuan pasukan kompeni dari Batavia. Ratu Bagus Buang dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah barat, yang memaksa pasukan Ratu Fatimah hanya mampu bertahan di benteng saja, sedangkan pasukan Ki Tapa yang mencegat pasukan kompeni dari Batavia, melalui pertempuran hebat, mereka dapat menghancurkan pasukan kompeni. Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru dari negeri Belanda, Batavia pun mungkin dapat direbut pasukan Ki Tapa ini. Karena pasukan bantuan dari negeri Belanda ini pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat dipukul mundur. Demikian juga pengepungan di Surosowan dapat dibuyarkan.
Untuk menenangkan rakyat Banten, gubernur jendral kompeni yang baru, Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Ratu Fatimah selanjutnya diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Belanda mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya.
Walau pun kompeni telah mengembalikan Pangeran Gusti dan bahkan menangkap Ratu Fatimah, namun perlawanan rakyat Banten tidak mereda. Barisan rakyat dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan mendadak di sekitar ibukota Surosowan. Tapi dalam serangan besar-besaran yang dilakukan kompeni, akhirnya pasukan perlawanan ini dapat dipukul mundur, hingga mereka hanya dapat bertahan di daerah pengunungan di Pandeglang. Baru pada serangan berikutnya, pasukan pejuang ini menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea, Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat dikuasai kompeni, sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor dan Banten Selatan.
Dalam pada itu di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alimin pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra Mahkota. Tapi dengan pengangkatan itu Sultan Abulma'ali harus menandatangani perjanjian dengan kompeni yang isinya:*)
1)    Banten di bawah kuasa penuh kompeni Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan sultan.
2)    Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan kompeni.
3)    Hanya kompeni Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
4)    Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada kompeni saja.
5)    Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan kompeni.
Mengetahui tentang pasal-pasal perjanjian kompeni ini, beberapa pangeran dan pembesar kraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti. Rakyat kembali mengangkat senjata mengadakan perlawanan, dan kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman. Pasukan penentang mengadakan serangan serentak ke kota Suro-sowan; Ki Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar sedangkan rakyat yang dipimpin pangeran dan ponggawa Banten mengadakan pengacauan di dalam kota. Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan kota Surosowan.
Dengan susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan serangan-serangan tersebut. Ki Tapa menyingkir ke daerah Priyangan. Dan setelah terjadi peperangan di Bandung, akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya Ki Tapa pergi ke Jawa Timur untuk bergabung dengan para pejuang di sana. Sedangkan Ratu Bagus Buang sampai tahun 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abulma'ali Muhammad Wasi' Zainul 'Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Abu'l Nasr Muhammad 'Arif Zainul 'Asiqin. Sultan Abu'l Nasr Muhammad 'Asiqin wafat pada tahun 1773 dan digantikan putranya dengan gelar Sultan Abu'l Mafakhir Muhammad Aliuddin (1773 - 1799).
Karena tidak mempunyai anak laki-laki, Sultan 'Aliuddin, setelah wafat diganti oleh adiknya, Pangeran Muhiddin, dengan gelar Sultan Abu'lfath Muhammad Muhiddin Zainushalihin yang memerintah pada tahun 1799 sampai dengan 1801. Pada tahun 1801, Sultan Muhiddin dibunuh oleh Tubagus Ali, seorang putra Sultan 'Aliuddin, dan Tubagus Ali sendiri dapat dibunuh oleh pengawal kesultanan. Selanjutnya yang menjadi Sultan adalah putra Sultan 'Aliuddin, dari selir (istri yang bukan permaisuri), dengan gelar Sultan Abu'l Nasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801 - 1802).
Pada tahun 1802 kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya yang kemudian pada tahun 1803 digantikan putra kedua Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin dengan gelar Sultan Abu'lnasr Muhammad Ishak Zainulmuttaqin atau Sultan Aliyuddin II (1803 - 1808).
Pada akhir abad ke-18, yang berkuasa di sebagian besar kerajaan di nusantara hakekatnya adalah kompeni Belanda, sultan statusnya tidak lebih dari pegawainya saja. Melalui tangan Sultan, kompeni dapat memerintahkan apa saja kepada rakyat. Dalam hal perdagangan, kompeni bukan saja menghendaki monopoli pembelian hasil bumi, tetapi juga dalam hal perantaraan dan penjualan. Kompeni dapat memaksa Banten (dan Lampung) menjual lada hanya kepadanya saja, demikian juga dalam hal penanamannya. Cengkeh yang dibeli kompeni dari Ambon dan pala dari Banda dibelinya dengan barang-barang Eropa atau lokal, yang dari barang-barang itu saja sudah diambil keuntungan 50% hingga 75%. Sedangkan rempah-rempah yang dibeli dengan harga 7,5 sen per pon dijualnya 300 sen. Garam dari Rembang, Gresik dan Japara yang dibeli 6 ringgit per 500 pond dijual kompeni kepada rakyat Andalas seharga 30 hingga 35 ringgit per 300 pond. Di Banten pun ditetapkan bahwa hanya kompeni yang boleh menjual kain-kain dari Koromandel, keramik Cina, dan lain-lain.
Untuk lebih banyak mendapatkan laba, kompeni pun menerapkan aturan "pemberian wajib" kepada beberapa negara taklukannya. Mataram diharuskan memberikan beras dengan jumlah yang ditentukan dan harga yang juga ditentukan semurah-murahnya oleh kompeni. Banten diharuskan memberikan lada, Priyangan harus memberikan kayu, beras, lada, ternak, kapas dan nila. Dengan ketentuan ini, sultan pun mewajibkan rakyatnya untuk menyediakan kehendak kompeni itu dengan harga yang rendah.
Tahun 1707 kompeni mewajibkan kepada rakyat Priyangan untuk menanam kopi yang hasilnya harus diserahkan kepada kompeni. Mula-mula dihargakan 21 ringgit per pikul, kemudian diturunkan menjadi 5 ringgit per pikul, itu pun dibayar separoh dengan cara barter dan separohnya lagi dengan "surat utang". Dan tidak jarang pula, untuk "men-stabilkan harga" sewaktu-waktu tanaman kopi itu harus ditebang sebagian yang kemudian sewaktu- waktu harus ditanam baru lagi.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, atas perintah kompeni Belanda, rakyat Banten yang berumur lebih dari 16 tahun dan berbadan sehat, harus menanam 500 batang pohon lada. Lada yang dihasilkan harus dijual kepada kompeni melalui petugas kerajaan yang ditunjuk secara barter dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Karena barang kebutuhan pokok ini dihargakan terlalu tinggi dan harga sebahar (tiga pikul) lada kurang dari 4 ringgit Spanyol, maka rakyat penanam hanya mendapat sedikit kelebihannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena ketentuan ini, Belanda pada tahun 1774 dapat mengirimkan 19.000 bahar lada ke negeri Belanda. Semua ketentuan kompeni ini menambah kemakmuran kompeni yang kemudian dikirimkan ke negeri Belanda, di lain pihak rakyat pribumi semakin menderita.

Tangga di situs keraton Surosowan

PENGHANCURAN SUROSOWAN OLEH DAENDELS
Pada akhir abad ke-18, walau pun kompeni dapat menguasai hampir seluruh kepulauan nusantara, namun kompeni pun mengalami kemunduran dalam perdagangannya. Hal ini disebabkan karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, mengakibatkan hutang kompeni (VOC) bertumpuk. Di antara sebab penting lain dalam masalah ini adalah :
1)    Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis dan Ingris.
2)    Miskinnya penduduk nusantara, terutama pulau Jawa karena monopoli, sehingga rakyat tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
3)    Turunnya harga rempah-rempah di pasaran dunia, karena di samping seringnya penduduk pribumi yang melanggar monopoli kompeni, Inggris pun sudah berhasil menanamnya di India.
4)    Banyak pegawai VOC melakukan korupsi.
5)    Banyak biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru, terutama di Jawa dan Madura.
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda, dan sejak saat itulah kepulauan Nusantara dijajah Belanda.
Pada tahun 1789 terjadi Revolusi Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, yang mengguncangkan Eropa. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis, kecuali Inggris; Belanda pun dapat dapat dikuasainya tahun 1807 -- sehingga otomatis daerah jajahan Belanda, termasuk kepulauan Nusantara berada di tangan Perancis. Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon, yang diberi kuasa di Belanda, mengangkat Herman William Daendels sebagai Gubernur Jendral di kepulauan Nusantara. Ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan tentara Inggris yang berpangkalan di India. Untuk tugas tersebut Daendels membangun sarana-sarana pertahanan: jalan-jalan pos, personil, barak militer, benteng, pelabuhan, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan rodi atau kerja paksa, yaitu para pekerja tanpa upah.
Pekerjaan pertama adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Deandels memerintahkan kepada Sultan Banten mengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya. Tapi karena daerahnya berawa-rawa maka banyak pekerja yang mati, terkena hawa beracun atau penyakit malaria, atau melarikan diri.
Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biangkeladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan Sultan yang dipanggil datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya:
1)    Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
2)    Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
3)    Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak oleh Sultan Aliudin. Mengetahui sikap Sultan yang demikian, dengan segera (dan sembunyi-sembunyi) dikirimnya pasukan dalam jumlah besar yang dipimpin Daendels sendiri ke Banten, yang dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Kemudian diutuslah Komondeur Philip Pieter du Puy dengan beberapa orang pengawalnya ke istana Surosowan untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan, tanpa memberitahukan bahwa pasukan Belanda sudah disiapkan di luar kota. Namun karena kebencian yang sudah memuncak kepada Belanda, Du Puy dan seluruh pengawalnya dibunuh oleh pasukan pengawal kraton di depan pintu gerbang benteng Surosowan.
Mengetahui keadaan utusannya itu Daendels segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang istana Surosowan pada hari itu juga, yakni tanggal 21 Nopember 1808 (Chijs, 1881:43). Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang di luar dugaan, sehingga Sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. Prajurit-prajurit Banten dengan keberanian yang mengagumkan mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Deandels dapat menumpas semua itu. Surosowan dapat direbutnya, Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan Patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga, dan Sadang dimasukkan ke dalam teritorial Batavia. Dan sebagai Sultan Banten diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809). Walaupun masih bergelar Sultan, namun kekuasaannya tidak lebih dari seorang pegawai Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa, dengan gaji 15.000 real setahun dari Belanda (Sanusi Pane, 1950 b:113).
Tindakan kejam Deandels ini menimbulkan kebencian rakyat kepada Belanda semakin memuncak. Perampokan kapal-kapal Belanda sering terjadi, demikian juga pengacauan-pengacauan di darat yang digerakkan oleh para ulama. Mereka bermarkas di daerah Cibungur, pantai Teluk Marica. Serangan pasukan Belanda ke daerah ini tidak berhasil, bahkan serangan yang dipimpin Daendels sendiri pun dapat dipukul mundur. Daendels mencurigai Sultan sebagai dalang kerusuhan tersebut, untuk itu bersama pasukannya ia datang ke Banten. Sultan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan istana Surosowan dihancurkan dan dibakar (1808).

Bangunan di situs Keraton Kaibon

Untuk melemahkan perlawanan rakyat, daerah Banten dibagi dalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten: Banten Hulu, Caringin dan Anyer. Ketiga daerah tersebut di bawah pengawasan landros (semacam residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk daerah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafi'uddin (1809 - 1813), putra Sultan Muhyiddin Zainul Shalikhin (Sanusi Pane, 1950 b:14 dan Ismail, 1983:270); karena keraton Surosowan telah hancur maka pusat pemerintahan dialihkan ke Keraton Kaibon. Demikianlah, semenjak kejadian itu kesultanan Banten lenyap dan dilupakan orang. Perlawanan rakyat yang tanpa hentinya pun dihancurkan dengan kejam.
Tentang pembuatan pelabuhan militer di Ujung Kulon, karena banyaknya pekerja yang mati dan daerahnya yang berawa-rawa, maka pembangunannya dihentikan, dan dipindahkan ke Anyer. Pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan pos dari Anyer sampai Panarukan (± 1000 Km). Jalan ini dikerjakan hanya dalam tempo satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten.
Melihat tindakan Daendels yang dianggap sangat otokratis, maka Kaisar Napoleon pada tahun 1810 memanggil Daendels untuk pulang ke negerinya. Sebagai penggantinya, Napoleon menugaskan  Jansens menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda.
Sekitar bulan Agustus 1811 pasukan Inggris dari India, dengan menggunakan 100 buah kapal, mendarat di Banten. Dengan mudah tentara Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles -- dengan bantuan beberapa raja yang sangat membenci Belanda -- dapat mengalahkan tentara Belanda. Jansen dengan beberapa sisa tentaranya melarikan diri ke Semarang, dan akhirnya menyerah tanpa syarat. Belanda menandatangani perjanjian menyerah pada tanggal 17 September 1811 di Salatiga; dengan demikian seluruh daerah jajahan Perancis ini beralih tangan di bawah kuasa Inggris.

DAFTAR REFERENSI
Ambary, Hasan Muarif, Halwany Michrob, John N. Miksic, 1988, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten, Jakarta: Depdikbud.
Berg, van den, H.J. Kroeskamp, Simandjoentak, 1952, Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia, Jld. I, Jakarta: Wolters.
Burger, dan Prajudi, 1962, Sejarah Ekonomis Sosialogis Indonesia, Jakarta: Pradjaparamita.
Chijs, J.A. van der, 1881, Oud Bantam, Batavia: Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunstenen Wetenschappen.
Djajadiningrat, Husein, 1983, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Jakarta: PT Jambatan - KITLV.
Hamka, 1976, Sejarah Ummat Islam, Jld IV, Jakarta: Bulan Bintang.
----------, 1982, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Muhammad, 1983, Petunjuk Jalan dan Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten, Serang: Saudara.
Lombart, Dennis, 1967, Le Sultanat d'Atjeh autemps d'Iskandar Muda,
Michrob, Halwany, 1981, Pemugaran dan Penelitian Arkeologi sebagai Sumbangan Data bagi Perkembangan Sejarah Kerajaan Islam Banten, Skripsi, Jakarta: IPPM.
Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masalalu Banten, Serang: Saudara.
Roesjan, Tb.G., 1954, Sejarah Banten, Jakarta: Arief.
Sanusi Pane, 1950, Sejarah Indonesia, Jld. II, Jakarta: Balai Pustaka.
Tamar Djaja, 1966, Pusaka Indonesia, Jld. I, Jakarta: Bulan Bintang.
Tjandrasasmita, Uka (Ed.), 1975, Sejarah Nasional Indonesia, Jld. III, Jakarta: Depdikbud.
------------, 1967, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, Jakarta: Yayasan Nusalarang.
-----------------
*)  Dalam kenyataannya, hancurnya kesultanan Banten bukanlah karena kalah perang dengan kompeni, tapi lebih banyak disebabkan ditandatanganinya perjan-jian-perjanjian yang berat sebelah. Kesultanan mewarisi utang kepada kompeni, sebagai penanggungan biaya perang semenjak Sultan Haji, yang tidak pernah lunas terbayar.>

BANTEN MASA LAMPAU DAN KINI


Banten, daerah cukup menarik. Sebagai provinsi, jika dilihat luas wilayahnya tak signifikan. Dibanding daerah induknya, Jawa Barat (Jabar) sangat jauh berbeda. Wilayah Jabar seluas 44.354,61 Km2 , terdiri dari 16 kota dan 10 kabupaten. Sedangkan Provinsi Banten memiliki luas hanya 8.651,20 Km2 , meliputi empat kota dan empat kabupaten.
Sempitnya wilayah Banten bukan suatu persoalan untuk mencapai kemajuan, karena memiliki sejumlah potensi. Antara lain, letak yang strategis, kondisi alam, dan kekayaan alam yang dimiliki. Selain itu, latar belakang sejarah kejayaan di masa lalu serta momentum yang ada menjadi faktor penting bagi kemajuan Banten. Berangkat dari kalkulasi atas potensi yang dimiliki, masyarakat Banten bertekad memisahkan diri dari Jabar dan membentuk provinsi tersendiri. 


Kejayaan masa lalu
Sebagaimana provinsi-provinsi di Pulau Jawa, terbentuknya Provinsi Banten tak terlepas dari pengaruh latar belakang sejarah. Khususnya pada masa kejayaan yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu, kejayaan masa kerajaan dan kemajuan atau proses perjuangan pada masa kolonial.
Banyak kejayaan yang dicapai pada masa kerajaan kemudian menginspirasi dan menjadi ikon suatu daerah. Jawa Timur mendapat pengaruh kejayaan Kerajaan Majapahit dan Kediri. Jawa Tengah pengaruh dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta tak terlepas dari pengaruh Mataram Yogyakarta. Begitu pula Jawa Barat identik dengan Kerajaan Pajajaran.
Secara historis, Kesultanan Banten pernah mengalami puncak kejayaan, terutama pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692). Banten bukan hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, tetapi pelabuhan Banten dikenal sebagai pusat perdagangan internasional yang termashur.
Bukti-bukti kejayaan Kesultanan Banten bisa ditelusuri melalui beberapa literatur. Sedangkan bukti fisik yang bisa disaksikan yakni sisa-sisa peninggalan masa lalu, seperti situs bangunan keraton Surosowan Kesultanan Banten, benda-benda peninggalan yang tersimpan di Museum Kepurbakalaan Banten, dan Masjid Agung Banten. Semua berada di kawasan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
Pengaruh masa kolonial, seperti diketahui melalui sejarah tentang beberapa kota di provinsi di Pulau Jawa. Kota Surabaya di Jawa Timur, Semarang di Jawa Tengah, Bandung di Jawa Barat, dan Yogyakarta merupakan pusat pendudukan kolonial sekaligus basis perjuangan masyarakat pribumi merebut kemerdekaan.
Sebagai daerah penting, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, setelah VOC dibubarkan, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808-1811), di Anyer dan Ujung Kulon, dibangun pangkalan armada laut. Oleh Daendels Anyer juga dijadikan titik nol proyek monumental pembangunan jalan raya trans Jawa hingga ke Panarukan Jawa Timur. Peninggalan di Anyer berupa mercusuar, menara pemantau kapal-kapal laut yang hingga kini masih berdiri kokoh.
Kejayaan masa lalu Banten bukan hanya menjadi kenangan. Peninggalan berupa fisik dapat berfungsi untuk bahan kajian ilmiah dan sarana wisata. Warisan berupa nilai-nilai agama maupun budaya menjadi pijakan bagi pembangunan Provinsi Banten.

Masa kini
Seiring bergulirnya reformasi berimplikasi terhadap perubahan sistem politik, salah satunya desentralisasi kekuasaan. Momentum sangat fenomenal terbentuknya Provinsi Banten tanggal 4 Oktober 2000. Terbentuknya Provinsi Banten bagaikan napak tilas kejayaan Banten masa lampau. Dengan segala potensi yang dimiliki Banten mampu menunjukkan kemajuannya. Tahun 2007 menduduki peringkat ke empat dalam hal peningkatan APBD (Asep Kurnia dan Ahmad Siabudin: 2010).
Provinsi Banten memiliki potensi alam cukup tinggi. Secara topografi terdiri atas dua bagian besar, yaitu, daerah perbukitan di sebelah selatan (Kabupaten Lebak dan Pandeglang) dan daerah dataran rendah di bagian lainnya. Terdiri dari empat kota (Kota Serang, Tangerang, Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan) dan empat kabupaten (Kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang, dan Kabupaten Lebak).
Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Serang adalah daerah dengan aktivitas ekonomi cukup tinggi karena merupakan kawasan industri, terutama industri manufaktur. Kabupaten Lebak dan Pandeglang merupakan daerah hijau, hutan dan perkebunan banyak terdapat di sana. Adapun Kota Tangerang Selatan merupakan kota jasa, perdagangan, serta banyak lembaga pendidikan bergensi dan bertaraf internasional. Maklum, di kota ini banyak tinggal tokoh intelektual, tokoh nasional, dan kaum ekspatriat.
Tentang internasional, Provinsi Banten memiliki Taman Nasional Ujung Kulon, di Kabupaten Pandeglang yang masih hidup populasi hewan langka yang di dunia hanya ada di Ujung Kulon. Bandara internasional Soekarno-Hatta merupakan gerbang utama Indonesia berada di Kota Tangerang. Bahkan telah direncanakan pembangunan pelabuhan bertaraf internasional di Kramatwatu, Serang. Kondisi demikian membuat peningkatan APBD Provinsi Banten meningkat signifikan setiap tahun.
Sektor pariwisata, Porivinsi Banten yang ketiga sisinya dikelilingi laut, dari Cilegon hingga Labuhan jalan melingkar menyusur tepi pantai Selat Sunda merupakan kawasan wisata sangat kesohor. Hotel dan villa berjejer siap memanjakan setiap wisatawan dengan pemandangan Gunung Krakatau yang penuh cerita di lepas pantai. Pelabuhan penyeberangan ke Sumatera menambah Provinsi di ujung barat Pulau Jawa ini sangat sibuk. Dihubungkan oleh ruas tol langsung sampai Jakarta.
Apalagi kalau pembangunan mega proyek jembatan Selat Sunda yang jauh lebih panjang dari jembatan Suramadu terealisasi, membuat Provinsi Banten kian melambung. Lain ceritanya jika para pemegang kekuasaan tidak amanah, hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok. Seperti BUMN PT Krakatau Steel yang belum lama diributkan karena penjualan saham yang diobral. Maka, timbulah pertanyaan, akankah kejayaan Banten masa lampau, bisa terulang? (Sumarno)